
#Dynamic Romance
Cahaya lampu yang temaram tak mampu memantulkan sinarnya yang jatuh diatas Derby sewarna charcoal yang mengkilat indah milik Jeongguk saat pria rupawan itu letakkan di rak yang berisi jajaran sepatu yang memiliki ukuran berbeda.
Lalu kakinya yang kini beralas sandal rumah mengayun sampai pintu kamar yang terbuka. Dengan wajah lesu dan rahang yang mengeras — mood nya begitu buruk karena beberapa kendala kantor yang memuakkan terus menerus menyerangnya sejak siang hari. Satu tangannya meletakkan tas kantor di sofa sudut kamar yang sedikit gelap; lampu tidur disisi ranjang tak dapat membiaskan cahayanya karena luasnya kamar. Sementara satu tangannya yang bebas berusaha membebaskan lehernya yang sesak dari dasi yang mencekiknya sedari pagi lalu bergegas kedalam bilik kamar mandi, seluruh sel tubuhnya membutuhkan guyuran air agar kembali pulih dan segar.
Jeongguk keluar setelah menghabiskan 20 menit untuk membersihkan diri. Bibirnya menghela nafas lelah bersamaan dengan matanya yang terpejam. Udara Air conditioner yang bercampur dengan pengharum ruangan menyelimuti tiap inci kulitnya yang hanya dibalut handuk sebatas paha dengan lembut, mengelus sisa-sisa lelah Jeongguk hingga meluap. Masih dengan berdiri didepan pintu kamar mandi, jelaga pekatnya yang terbuka langsung terfokus pada sosok yang sedang bergelung begitu nyaman ditengah ranjang.
Kakinya berjalan mendekat dengan tangan yang sibuk menggosok rambutnya dengan handuk kecil, kemudian membawa tubuhnya duduk disisi ranjang menatap lamat lamat sosok yang kini tengah tertidur pulas; sesuatu yang Jeongguk lakukan setiap pulang dari kantor. Menikmati bagaimana nafas yang teratur, bulu mata lentik yang terpejam, juga bibir ranum sewarna tomat yang siap di panen — Jeongguk begitu mengagumi tiap apa yang dimiliki Taehyung didalam dirinya. Namun begitu disayangkan karena Jeongguk sama sekali tak memiliki harapan untuk merasakan semuanya sekalipun dengan ujung jarinya. Begitu ketakutan karena bayangan Taehyung yang menolak tiap kontak fisik diantara mereka; atau karena otaknya yang selalu di pukul keras tentang seberapa tak pantas Jeongguk memiliki semuanya hingga sekarang dengan penuh keterpaksaan Jeongguk menciptakan sekat transparan diantara keduanya.
Tangannya terulur untuk menarik selimut tipis yang merosot di pinggang yang muda setelah sebelumnya berucap lirih kata ‘permisi’ karena Jeongguk tanpa sengaja melihat bagaimana perut halus suaminya yang tak tertutup baju piyama dengan baik. Seolah tersengat listrik tubuhnya terlonjak hingga dimana tubuhnya kini dalam keadaan berdiri, menatap Taehyung yang kini terbangun sedang mengusap kelopak matanya beberapa kali.
Layaknya Malin Kundang yang dikutuk oleh sang ibu menjadi batu, Jeongguk membeku ditempat dengan handuk ditangan yang terlepas kini jatuh teronggok di lantai yang dingin. Jelaga pekatnya kini bersinggungan dengan manik almond dengan satu kelopak monoloid milik Taehyung dengan khas bangun tidur.
Jejak bantal tercetak jelas di pipi yang chubby layaknya roti dengan persentase lemak dan gula yang pas terdapat dalam adonannya. Lembut dan kenyal, Jeongguk selalu memimpikan bagaimana rasanya meletakkan bibirnya diatas sana.
“Mas..”
Getaran samar di sekujur tubuhnya saat suara serak milik Taehyung menyapa rungunya.
“Mas Jeongguk?”
Jeongguk berani bersumpah beribu kali tentang seberapa mengagumkan namanya manakala Taehyung yang menyebutnya. Seolah ulat bulu menggelitik tiap jengkal perutnya tanpa permisi, Jeongguk hampir mual. Bukan karena seberapa menjijikkan panggilan itu melainkan karena euforia yang tercipta setelahnya. Jeongguk rela mengabdi berabad-abad tahun demi mendapatkan panggilan Taehyung yang begitu berpengaruh besar dalam dirinya.
“Mas Jeongguk kenapa? Kamu sakit?”
Tubuh yang terbalut setelan piyama berwarna pastel hendak bangun. Namun Jeongguk dengan tindakan impulsif mencegahnya, tangannya hampir menyentuh bahu Taehyung agar kembali merebahkan diri.
“No, Taehyung. Sorry I woke you, go back to sleep now.”
Jeongguk mengumpat dalam hati. Menyayangkan seberapa buruk nada ucapannya sekarang yang terdengar begitu dingin dan kaku. Taehyung pasti salah faham terbukti dengan bagaimana wajahnya yang kini mengerut tak senang.
“We need to talk, ingat?” Nadanya berubah dingin berbeda dengan saat Taehyung memanggil namanya tadi. Mengangguk lemah, menurut saat Taehyung menunjuk dengan matanya untuk duduk disampingnya.
Debaran jantungnya tak dapat Jeongguk hadapi, begitu kuat seolah tengah mengetuk tulang rusuknya dengan kekuatan yang besar sampai rasanya begitu takut Taehyung akan mendengarnya dan menyadari.
“S-saya pikir, kita bisa membicarakannya besok? You look so sleepy, Taehyung.” Jeongguk dengan nada khawatir, pasalnya kini atensinya menangkap bagaimana Taehyung yang sedang menguap lebar — beberapa kali.
“Tidak mas. Kita harus bicara sekarang.” Tukas Taehyung. Mata almond-nya yang bersinar kini nampak kemerahan karena sang empu menggosoknya beberapa kali.
“Baiklah. Kita memang perlu berbicara.” Jawab Jeongguk dengan menganggukkan kepalanya singkat. Sekelebat raut wajah Taehyung sedikit terhenyak — Jeongguk menyadari itu. Jeongguk berdeham pelan.
“Kamu bicaralah terlebih dahulu, Taehyung.”
Mungkin Jeongguk akan membawa tubuh ramping yang termuda lantaran begitu gemas saat ini; Taehyung yang sedang menundukkan kepalanya dengan jari jemarinya yang bertautan. Jeongguk bisa menangkap getaran di ujung jarinya.
“Mas, mungkin kita baru pertama kali bicara panjang lebar seperti ini setelah satu tahun kita menikah. Tapi, kita perlu meluruskan semua ini mas.” Atmosfer ruangan terasa begitu mengetat, seolah mencekik Jeongguk yang saat ini masih telanjang dada dengan handuk yang melindungi pusat tubuhnya.
“Aku hanya ingin kesalahan ini berakhir.”
Jeongguk menganga dengan tak etis.
Kesalahan? Apa Taehyung benar benar menganggap pernikahan ini sebagai kesalahan? Pikiran abstrak menggelayut diujung akal Jeongguk saat ini.
“Aku ingin tahu, bagaimana aku harus menghadapi semua kedepannya. Entah itu hubungan kita, statusku, bahkan kamu. Kita bukan lagi anak kecil yang harus bersidiam setiap kita memiliki suatu hal yang tidak berjalan baik diantara kita. Aku tidak ingin semuanya berjalan hanya dengan kehendak dari satu orang. Aku menghormatimu selagi kamu menyandang status sebagai suamiku. Aku akan melakukannya selagi aku itu tak melunturkan rasa hormatku, mas. Tapi dengan keadaan kita sekarang. Aku menyadari aku telah begitu kebingungan, tersesat tanpa tahu apa yang sedang menungguku di penghujung jalan.”
“Aku bertanya tanya setiap kekosongan menyelimuti kian hari. Apa begitu takut menanyakannya padamu. Aku takut hal yang begitu aku takuti menjadi jawabanmu.”
“Aku merasa begitu egois karena tak pernah tau apapun tentangmu hingga sekarang. Aku begitu bodoh karena tidak mempertimbangkan semuanya dengan satu kesepakatan yang harusnya aku perlu persetujuan mu sebelumnya. Itu sebabnya kamu selalu menghindariku sedari awal. Seharusnya aku faham bagaimana sekat tak kasat mata yang kamu bangun sejak awal. Maaf aku baru menyadarinya setelah aku yang kelelahan sendiri.”
“Mungkin hanya aku yang menerima perjodohan ini sejak awal. Aku minta maaf. Seharusnya kita bicarakan ini terlebih dahulu, mas. Aku tidak memikirkan bagaimana tanggapanmu, pertimbanganmu.Seharusnya — ”
“Stop, Taehyung.” Taehyung terkejut karena nada dingin sang suami yang kini menatapnya dengan rasa bersalah yang tercipta diwajahnya yang selalu kaku dan dingin.
“Maaf, semua itu tidak benar. Semua yang kamu ucapkan tidak benar. Saya minta maaf, saya yang keliru disini. Saya bukan suami yang baik, tidak bisa menjadi pembimbingmu dengan benar.”
“Tapi satu hal yang perlu kamu ketahui. Pernikahan ini bukan sebuah kesalahan. Saya sadar betul bagaimana saya menerima perjodohan kita satu tahun lalu.”
“Saya melakukannya semata-mata karena saya mau, saya bersedia. Saya bersikap bodoh karena selalu mengacuhkan kamu. Padahal sedari awal presensi kamu di hidup saya adalah sebuah anugerah.” Jeongguk dengan gemetar menyentuh jemari Taehyung, menangkapnya dalam balutan tangan yang hangat untuk pertama kali.
“Tetaplah disini, saya mohon. Stay. I need you more than you think.”